Selasa, 30 Desember 2014

Permasalahan Fiqih di daerah Purnama

Permasalahan Fiqih di daerah Purnama
Di daerah perkotaan tepatnya di daerah Purnama yang saat ini menjadi tempat bermukim saya, meskipun rumah yang selama ini bukan milik pribadi. Tapi sudah puluhan tahun saya tinggal di daerah ini. Banyak macam permasalahan yang timbul di daerah ini khususnya diantaranya yaitu permasalahan tentang thaharah atau bersesuci yang mana dalam thaharah ini sangat banyak macamnya nah yang menjadi permasalah di daerah ini adalah cara mereka mencuci pakaian. Mungkin hal ini dianggap remeh oleh senagian orang namun ini sangat berkaitan erat dengan suatu ibadah shalata yang mereka kerjakan nantinya.

Permasalahan itu tidak lain adalah disebabkan ketidakpahaman mereka tentang thaharah serta disebabkan air juga. Permasalah itu ialah dimana ketika seseorang mencuci pakaian mereka, banyak hal-hal yang diremehkan. Antara lain peremehan tersebut ialah cara penggunaan air. Banyak dari kalangan awam yang mencuci pakaiannya dengan air ledeng atau air keran, namun bukan itu letak kesalahannya, letak kesalahannya yaitu terletak pada cara mereka menmpatkan air serta cara mereka menggunakannya. Air yang digunakan untuk mencuci pakaian kebanyakan digunakan mereka di tempatkan di ember yang mana jika air itu disimpan ke dalam ember sudah barang tentu tidak sampai ukuran dua qullah. Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 Rithl. Lucunya, begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga, jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama, yang menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan volume 1 rithl Syam. Lalu para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.
Kembali kepembahasan ternyata kebanyakan dari mereka menggunakan air tersebut untuk mencuci pakaian yang mana pakaian itu juga bercampur antara yang pakaian yang suci dan najis. Lalu semua pakaian itu dimasukkan ke dalam satu ember yang kemudian digosok menggunakan rinso atau deterjen lainnya. Dan kemudian pakaian itu dibilas dengan cara menumpuk pakaian yang tadi kedalam satu ember yang tadi lagi. Sehingga tercampurlah antara pakaian yang suci dan tidak suci itu yang mengakibatkan air itu menjadi najis disebabkan pakaian yang mutanajiis itu disatukan kedalam air yang tidak smpai dua qullah. Sebenarnya jika ingin mensucikan pakaian yang mutanajjis itu bukan dengan cara membilas pakaian dalam satu ember lalu di tambah air sedikit lalu pakaiannya diangkat seperti itu. Jika pakaiannya ada yang mutanjjis alternatifnya ia harus membilas pakaian itu di luar ember dengan cara menyiramnya dari atas sampai benar-benar bersih bukan dengan cara membilasnya dengan menyimpannya dalam air yang tidak sampai dua qullah. Jadi kesimpulannya jika pakaian yang ia cuci itu tetap dalam keadaan mutanajjis lalu digunakan untuk shalat maka jelas shalat yang ia kerjakan tidak sah.
Selain itu juga ada permasalahan lain yang sering disepelekan oleh kaum wanita. Permasalahan itu antara lain tentang kewajiban mengganti puasa yang ia tinggalkan sebab haidh. Banyak dikalangan wanita beranggapan bahwasanya puasa yang ia tinggalkan sebab haidh tidak wajib diganti. Mereka seakan-akan menyamakan dengan shalat. Yang mana bagi wanita yang meninggalkan shalat sebab ada halangan berupa haidh tidak wajib diganti. Dengan begitu dengan santainya wanita mengkiaskan hal itu dengan puasa hingga puasa yang telah ia tinggalkan sebab ada halangan berupa haidh. Padahal sejatinya hal itu tidaklah boleh disamakan. Karena pada dasarnya hanya diwajibkan satu tahun sekali sedangakan ibadah sahalat itu selalu diwajibkan dalam setiap harinya.

Selain itu pula ada juga beberapa wanita yang mengabaikan masalah haidh dimana mereka tetap tidak melaksanakan shalat setelah darah yang keluar tersebut telah lebih dari lima belas hari lima belas malam. Padahal ukuran darah haidh paling lama keluar itu adalah lima belas hari lima belas malam. Nah ketika darah itu keluar dihari ke enam belsnya maka darh itu sudah tidak bias dikatakan lagi sebagai darah haidh. Karena maksimal keluarnya darah haidh itu lima belas hari, lima belas malam. Nah pada saat itu pula wanita itu tidak melaksanakan shlat dikarenakan pada hari yang keenam belasnya darah itu masih keluar. Padahal darh yang keluar itu bukanlah dinamakan lagi darah haidh. Melainkan darah itu dinakan darah istihadhah atau darah penyakit. Nah hal inilah yang perlu juga dipahami oleh semua wanita yang tidak mengerti akan batasan waktu haidh khususnya wanita yang berada di daerah saya sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar