Permasalahan Fiqih di daerah
Purnama
Di
daerah perkotaan tepatnya di daerah Purnama yang saat ini menjadi tempat bermukim
saya, meskipun rumah yang selama ini bukan milik pribadi. Tapi sudah puluhan
tahun saya tinggal di daerah ini. Banyak macam permasalahan yang timbul di
daerah ini khususnya diantaranya yaitu permasalahan tentang thaharah atau bersesuci yang mana dalam
thaharah ini sangat banyak macamnya nah yang menjadi permasalah di daerah ini
adalah cara mereka mencuci pakaian. Mungkin hal ini dianggap remeh oleh
senagian orang namun ini sangat berkaitan erat dengan suatu ibadah shalata yang
mereka kerjakan nantinya.
Permasalahan
itu tidak lain adalah disebabkan ketidakpahaman mereka tentang thaharah serta
disebabkan air juga. Permasalah itu ialah dimana ketika seseorang mencuci
pakaian mereka, banyak hal-hal yang diremehkan. Antara lain peremehan tersebut
ialah cara penggunaan air. Banyak dari kalangan awam yang mencuci pakaiannya
dengan air ledeng atau air keran, namun bukan itu letak kesalahannya, letak
kesalahannya yaitu terletak pada cara mereka menmpatkan air serta cara mereka
menggunakannya. Air yang digunakan untuk mencuci pakaian kebanyakan digunakan
mereka di tempatkan di ember yang mana jika air itu disimpan ke dalam ember
sudah barang tentu tidak sampai ukuran dua qullah.
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran
volume 2 qullah itu adalah 500 rithl
Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang
Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran
rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 Rithl. Lucunya, begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan
menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga, jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka semua
sepakat volume 2 qullah itu sama,
yang menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl
Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl
Mesir dan volume 1 rithl Syam. Lalu para ulama kontemporer kemudian
mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran
masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah
az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa
Adillatuhu.
Kembali kepembahasan ternyata kebanyakan dari mereka
menggunakan air tersebut untuk mencuci pakaian yang mana pakaian itu juga
bercampur antara yang pakaian yang suci dan najis. Lalu semua pakaian itu
dimasukkan ke dalam satu ember yang kemudian digosok menggunakan rinso atau
deterjen lainnya. Dan kemudian pakaian itu dibilas dengan cara menumpuk pakaian
yang tadi kedalam satu ember yang tadi lagi. Sehingga tercampurlah antara
pakaian yang suci dan tidak suci itu yang mengakibatkan air itu menjadi najis
disebabkan pakaian yang mutanajiis itu disatukan kedalam air yang tidak smpai
dua qullah. Sebenarnya jika ingin
mensucikan pakaian yang mutanajjis
itu bukan dengan cara membilas pakaian dalam satu ember lalu di tambah air
sedikit lalu pakaiannya diangkat seperti itu. Jika pakaiannya ada yang mutanjjis
alternatifnya ia harus membilas pakaian itu di luar ember dengan cara
menyiramnya dari atas sampai benar-benar bersih bukan dengan cara membilasnya
dengan menyimpannya dalam air yang tidak sampai dua qullah. Jadi kesimpulannya jika pakaian yang ia cuci itu tetap
dalam keadaan mutanajjis lalu
digunakan untuk shalat maka jelas shalat yang ia kerjakan tidak sah.
Selain itu juga ada permasalahan lain yang sering disepelekan
oleh kaum wanita. Permasalahan itu antara lain tentang kewajiban mengganti puasa
yang ia tinggalkan sebab haidh.
Banyak dikalangan wanita beranggapan bahwasanya puasa yang ia tinggalkan sebab haidh tidak wajib diganti. Mereka seakan-akan
menyamakan dengan shalat. Yang mana bagi wanita yang meninggalkan shalat sebab
ada halangan berupa haidh tidak wajib
diganti. Dengan begitu dengan santainya wanita mengkiaskan hal itu dengan puasa
hingga puasa yang telah ia tinggalkan sebab ada halangan berupa haidh. Padahal sejatinya hal itu
tidaklah boleh disamakan. Karena pada dasarnya hanya diwajibkan satu tahun
sekali sedangakan ibadah sahalat itu selalu diwajibkan dalam setiap harinya.
Selain itu pula ada juga beberapa wanita yang mengabaikan
masalah haidh dimana mereka tetap
tidak melaksanakan shalat setelah darah yang keluar tersebut telah lebih dari
lima belas hari lima belas malam. Padahal ukuran darah haidh paling lama keluar itu adalah lima belas hari lima belas
malam. Nah ketika darah itu keluar dihari ke enam belsnya maka darh itu sudah
tidak bias dikatakan lagi sebagai darah haidh.
Karena maksimal keluarnya darah haidh
itu lima belas hari, lima belas malam. Nah pada saat itu pula wanita itu tidak
melaksanakan shlat dikarenakan pada hari yang keenam belasnya darah itu masih
keluar. Padahal darh yang keluar itu bukanlah dinamakan lagi darah haidh. Melainkan darah itu dinakan darah
istihadhah atau darah penyakit. Nah hal inilah yang perlu juga dipahami oleh
semua wanita yang tidak mengerti akan batasan waktu haidh khususnya wanita yang berada di daerah saya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar